X, anak keempat saya waktu SMP di Petra mengambil ekskur elektro. Setelah dia di SMA Santa Maria bingung memilih ekskurnya, karena elektro tidak ada.
Akhirnya ... atas anjuran saya dia memilih ekskur robotik. Ternyata ekskur itu tidak ada hubungannya dengan elektro, dan dia mau pindah ekskur lain tapi tidak diperbolehkan pindah.
Beberapa waktu yang lalu sepulang sekolah dia bilang kalau disuruh oleh gurunya ikut lomba robotik yang diadakan oleh Universitas Petra. Karena dalam lomba di sekolah dia menang 10 x.
Katanya: “Soalnya untuk menjatuhkan robot lawan, X menggunakan kekuatan ekor, jalannya bisa agak jauh sedangkan kawan-kawanku menggunakan kekuatan badan, jadi jaraknya harus dekat.”
Lomba tersebut diadakan hari Sabtu dan Minggu. Karena hari Minggu kami tidak ada sopir, maka X menginap di rumah temannya. Sebelum berangkat, saya memberi uang jajan lima puluh ribu.
Waktu hari Sabtunya saya sms tapi kok nggak ada jawaban. Pikir saya nggak ada berita ... ya, sudah. Lalu saya berdoa: “Tuhan berilah hikmat dan tuntunan-Mu mulai dari awal merakit sampai pada saat dia menjalankan. Mereka pantas menjadi juara atau nggak itu urusan-Mu. Karena Engkau tahu apa yang terbaik untuk mereka. Seandainya Engkau ijinkan anak saya untuk menjadi juara, taruhlah kerendahan hati di hatinya.”
Baru sorenya X telpon memberitahu kalau lolos masuk ¼ final. Saya menasehatinya: “Jangan lupa sebelum berangkat berdoa dulu, minta penyertaan Tuhan, biar Roh Kudus yang bekerja. Kalau kamu menemui kesulitan berdoalah ‘Roh Kudus bimbing aku, tuntun aku, apa yang harus aku lakukan.”
Hari Minggunya saya sms lagi, tapi nggak ada jawaban lagi. Namun ada bel rumah. Saya langsung ke luar melihat siapa yang datang, ternyata kawannya turun dulu dan saya tanyai: “Bagaimana?” Jawabnya: “Tante, ternyata juara satu.”
Saya langsung bersyukur pada Tuhan dan menyucapkan selamat pada kawannya tersebut.
Anak saya masuk dan bilang: “Ma, pialanya dapat dua, yang satu bergilir, yang satu piala tetap dan mendapatkan uang satu setengah juta dibagi dua dan dipotong 5%. Tapi ada satu hal yang sungguh menggembirakan. meskipun aku masih kelas satu SMA tapi sudah diregistrasi oleh Universitas Petra kalau aku mau masuk elektro, satu semester bebas bayar ...” Lalu saya menyela ceritanya: “Sudah bersyukur?”
Jawabnya sambil melanjutkan ceritanya: “Sudah ma. Setelah diumumkan juaranya, MC nya menunjuk beberapa orang dan mengadakan lomba kere. Aku nggak ngerti kere itu apa artinya. Masing-masing anak yang ditunjuk itu disuruh mengeluarkan uangnya dari dompet. Ada yang mengeluarkan Rp 279.000, Rp 165.000 ... pokoknya yang lain banyak-banyak. Lalu aku keluarkan uang bukan dari dompet tapi langsung dari saku (karena dua minggu yang lalu kehilangan dompet), uang ribuan enam. MC nya bilang: ‘Aduh nggak mentolo ngitung ... uangnya tinggal segini.’ Mulailah MC nya menghitung ... seratus ribu ... enam ratus ribu ... tapi nolnya yang dua ngglundung.” Karena anak saya yang paling kere mendapat voucher lima puluh ribu dan makan gratis di G Walk.
(Sumber: Warta KPI TL No. 50/VI/2008).
Akhirnya ... atas anjuran saya dia memilih ekskur robotik. Ternyata ekskur itu tidak ada hubungannya dengan elektro, dan dia mau pindah ekskur lain tapi tidak diperbolehkan pindah.
Beberapa waktu yang lalu sepulang sekolah dia bilang kalau disuruh oleh gurunya ikut lomba robotik yang diadakan oleh Universitas Petra. Karena dalam lomba di sekolah dia menang 10 x.
Katanya: “Soalnya untuk menjatuhkan robot lawan, X menggunakan kekuatan ekor, jalannya bisa agak jauh sedangkan kawan-kawanku menggunakan kekuatan badan, jadi jaraknya harus dekat.”
Lomba tersebut diadakan hari Sabtu dan Minggu. Karena hari Minggu kami tidak ada sopir, maka X menginap di rumah temannya. Sebelum berangkat, saya memberi uang jajan lima puluh ribu.
Waktu hari Sabtunya saya sms tapi kok nggak ada jawaban. Pikir saya nggak ada berita ... ya, sudah. Lalu saya berdoa: “Tuhan berilah hikmat dan tuntunan-Mu mulai dari awal merakit sampai pada saat dia menjalankan. Mereka pantas menjadi juara atau nggak itu urusan-Mu. Karena Engkau tahu apa yang terbaik untuk mereka. Seandainya Engkau ijinkan anak saya untuk menjadi juara, taruhlah kerendahan hati di hatinya.”
Baru sorenya X telpon memberitahu kalau lolos masuk ¼ final. Saya menasehatinya: “Jangan lupa sebelum berangkat berdoa dulu, minta penyertaan Tuhan, biar Roh Kudus yang bekerja. Kalau kamu menemui kesulitan berdoalah ‘Roh Kudus bimbing aku, tuntun aku, apa yang harus aku lakukan.”
Hari Minggunya saya sms lagi, tapi nggak ada jawaban lagi. Namun ada bel rumah. Saya langsung ke luar melihat siapa yang datang, ternyata kawannya turun dulu dan saya tanyai: “Bagaimana?” Jawabnya: “Tante, ternyata juara satu.”
Saya langsung bersyukur pada Tuhan dan menyucapkan selamat pada kawannya tersebut.
Anak saya masuk dan bilang: “Ma, pialanya dapat dua, yang satu bergilir, yang satu piala tetap dan mendapatkan uang satu setengah juta dibagi dua dan dipotong 5%. Tapi ada satu hal yang sungguh menggembirakan. meskipun aku masih kelas satu SMA tapi sudah diregistrasi oleh Universitas Petra kalau aku mau masuk elektro, satu semester bebas bayar ...” Lalu saya menyela ceritanya: “Sudah bersyukur?”
Jawabnya sambil melanjutkan ceritanya: “Sudah ma. Setelah diumumkan juaranya, MC nya menunjuk beberapa orang dan mengadakan lomba kere. Aku nggak ngerti kere itu apa artinya. Masing-masing anak yang ditunjuk itu disuruh mengeluarkan uangnya dari dompet. Ada yang mengeluarkan Rp 279.000, Rp 165.000 ... pokoknya yang lain banyak-banyak. Lalu aku keluarkan uang bukan dari dompet tapi langsung dari saku (karena dua minggu yang lalu kehilangan dompet), uang ribuan enam. MC nya bilang: ‘Aduh nggak mentolo ngitung ... uangnya tinggal segini.’ Mulailah MC nya menghitung ... seratus ribu ... enam ratus ribu ... tapi nolnya yang dua ngglundung.” Karena anak saya yang paling kere mendapat voucher lima puluh ribu dan makan gratis di G Walk.
(Sumber: Warta KPI TL No. 50/VI/2008).