Pages

Selasa, 17 November 2015

Rahmat Perkawinan Kristiani “bukan kontrak tetapi janji”

Kadangkala manusia itu lucu, pada waktu berbuat/melakukan dosa, dia mempersalahkan tubuhnya (teologi tubuh). Dia lupa kalau akarnya bukan di tubuh tetapi di akal budi dan kehendak bebasnya. Sehingga dia jatuh ke dalam dosa yang sama, karena dia keliru mempersalahkan.

Misalnya: mencuri, yang disalahkan tangannya; jika ada pikiran jahat, yang disalahkan kepalanya sehingga dibenturkan ke tembok dll.

Padahal tubuh ini Tuhan ciptakan baik, sesuai dengan gambar-Nya; yang salah ketika kita berbuat dosa adalah akal budi dan kehendak bebas kita.

Dulu orang berpikir bahwa perkawinan itu juga dosa. Padahal perkawinan kristiani adalah rahmat yang luhur dan mulia. Perkawinan itu harus di hadapan pejabat gereja, disaksikan oleh orang lain. Janji ini diinspirasi dari Mat 19:1-6.

Rumusan janji perkawinan Gereja Katolik.

“Di hadapan Romo, orang tua, saksi, saudara/i, saya ...(nama) dengan ini menyatakan dengan tulus ikhlas (tidak ada paksaan apa pun), bahwa ... (nama) yang berdiri di samping saya, mulai sekarang menjadi istri saya. Saya berjanji setia padanya dalam untung dan malang. Saya berjanji untuk mendidik anak-anak di dalam terang iman.”

Tujuan perkawinan dalam Hukum Kanon yang lama (tahun 1917):

1. Mendapat keturunan dan pendidikan anak.

2. Saling menolong sebagai suami istri dan sebagai obat penyembuh dan penawar nafsu seksual.

Berdasarkan kanon ini, terdapat banyak masalah perkawinan terjadi, tidak dapat diselesaikan karena nafas kontraknya masih ada. Misalnya: dalam perkawinan tidak mendapatkan anak atau mengalami kesulitan dalam hal seksual, orang bisa cerai. 

Maka Konsili Vatikan II merumuskan dengan sangat tegas tentang perkawinan sebagai suatu perjanjian, bukan kontrak.

Dalam kanon yang baru (tahun 1983), ada pergeseran pemahaman perkawinan; relasi seksual perkawinan yang dulu dilihat sebagai penyembuh/penawar nafsu seksual, sekarang paham itu berkembang menjadi bentuk kebersamaan suami istri dalam seluruh hidup (kesatuan antara 2 pribadi, ungkapan kasih untuk 2 pribadi).

Kitab Suci melihat perkawinan bukan sebagai sebuah kontrak, tetapi sebagai sebuah perjanjian. Karena itu harus mempunyai komitment untuk mengasihi secara lebih sebagai suami istri.

Beda kontrak dan perjanjian

KONTRAK
PERJANJIAN
Sifat lebih duniawi, melibatkan karya manusia
Sifat lebih alkitabiah, melibatkan pribadi/hati manusia
Dapat dilanggar dengan akibat kerugian material pada pihak lain.
Tidak dapat dilanggar, soal mempertahankan kepercayaan. Bila dilanggar mengakibatkan kehancuran pribadi.
Dibuat untuk waktu yang terbatas; bersifat sekuler dan cocok untuk dunia bisnis.
Dibuat untuk selama-lamanya; bersifat religius.
Disaksikan oleh manusia dengan negara sebagai penjamin; ada saksi, hitam atas putih dan ada meterai.
Disaksikan Allah sebagai penjamin.

Dapat dibuat oleh anak-anak yang tahu/mengerti nilai mata uang
Hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa, setelah matang secara mental, emosional dan spiritual.

Paus Yohanes Paulus II, menggambarkan keluarga Kristiani sebagai komunitas hidup dan cinta, mempunyai 4 tugas penting.

1. Membentuk komunitas antar pribadi yang sederajat dan bersifat tak terceraikan.

2. Mengabdi pada kehidupan, artinya terbuka pada keturunan untuk membuahkan kekayaan moril dan spiritual.

3. Ikut serta dalam pembangunan masyarakat, artinya sekolah pertama cinta kasih.

4. Ikut hidup dalam perutusan gereja.

Apa yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II itu diinspirasikan oleh tujuan perkawinan Kristiani:

1. Kebahagiaan suami istri – harus berusaha dan diperjuangkan.

Bahagia adalah di rumah tangga ada suasana baik bagaikan sorga, bukan tergantung semata-mata mempunyai uang banyak/rumah/penghasilan bagus. Karena damai yang diberikan Tuhan lain dengan diberikan dunia (Yoh 14:27).

2. Memperoleh anak.

3. Pendidikan anak.

Perhatian Pastoral pada keluarga-keluarga (peneguhan perkawinan)

I. Sebelum perkawinan dilaksanakan

1. Perlu ada persiapan batin dalam perkawinan.

2. Harus mematuhi syarat sahnya sebuah perkawinan; ada forma kanonik (= pemeriksaan kanonik), hanya dilakukan oleh Romo yang mempersiapkan pasangan itu; karena ada unsur rahasianya. 

Romo bertanya berbagai macam hal yang membuat mereka secara jujur mengungkapkan niat mereka tentang perkawinan dan apakah ada halangan.

- Halangan-halangan Kanonik pada umumnya. Misalnya perkawinan antara laki-laki dengan lali-laki/perempuan dengan perempuan.

- Halangan-halangan Kanonik pada khususnya:

- Belum mencapai umur kanonik - perempuan usia 14 tahun, laki-laki usia 16 tahun. Tapi gereja setempat dapat menentukan batas umur sesuai undang-undang di negara itu. Misalnya di Indonesia: perempuan usia 16 tahun, laki-laki usia 19 tahun; hukum perkawinan tahun 1974 usia 21 tahun, kalau di bawah 21 tahun harus ada ijin orang tua.

- Impoten, di lembar kanonik ditulis bahwa orang ini impoten (pasangan sudah tahu sebelum perkawinan), sesudah perkawinan itu mau dibatalkan karena alasan itu tidak bisa. Kasus berbeda awal perkawinan normal, setelah perjalanan impoten – itu tidak bisa dibatalkan.

- Kandungannya sudah diambil, di lembar kanonik ditulis bahwa orang ini kandungannya sudah diambil (pasangan sudah tahu sebelum perkawinan), sesudah perkawinan itu mau dibatalkan karena alasan itu tidak bisa. Kalau hal itu disembunyikan keadaannya, maka sesudah menikah dan suaminya mengharapkan anak, ternyata tidak punya anak itu – perkawinan itu bisa batal. 

- Ligamen (masih terikat pada perkawinan sebelumnya).

- Perkawinan beda agama, perlu dispensasi dari Uskup. Perkawinan ini ada kesulitan tersendiri, masing-masing pribadi harus ada pengorbanan, rendah hati dll.

- Perkawinan Tahbisan Suci (imam yang berhenti dari imamat lalu mau menikah) harus ada laisasi (pembatalan dari jabatan imam yang di keluarkan oleh Paus).

- Kaul kemurnian publik dan kekal (biarawan-biarawati, seperti tahbisan suci; hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian). 

- Penculikan

- Pembunuhan teman perkawinan. Misalnya: A menikah dengan B. A dan C bersekongkol membunuh B. Sesudah B mati, A dan C menikah. Kalau perkawinan ini ada yang tahu, maka batal karena ada unsur kerjasama.

- Kelayakan publik (yang muncul dari perkawinan tidak sah).

- Hubungan semenda sampai tingkat keempat (hubungan kakak adik).

- Hubungan adopsi. Misalnya: anak kandung menikah dengan anak adopsi; menikah dengan anak yang diadopsinya.

II. Sesudah perkawinan perlu pastoral berkelanjutan, karena paling rawan pada tahun-tahun awal perkawinan

Di dalam pemeriksaan kanonik 

- Ada status liber C (=status bebas).

- Domisili calon mempelai, harus mengikuti calon istri (untuk penghormatan terhadap perempuan).

- Surat Baptis Baru – karena setiap perkawinan di adakan di satu tempat, Romo/sekretariat harus menulis surat di mana orang itu dibaptis untuk dicatat.

- Mesti ada pengumuman, dimaksudkan supaya perkawinan itu merupakan tanggung jawab publik. Jika publik ada yang mengetahui halangannya, diharapkan melapor, maka diadakan konfirmasi.

Sebelum tahun 1974, Catatan Sipil dapat mencatat perkawinan tidak oleh agama apa pun. Tetapi sesudah peraturan Undang Undang Perkawinan 1974, Catatan Sipil tugasnya hanya mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut salah satu agama supaya diakui oleh pemerintah.

Gereja Katolik tidak terima ada cerai sipil, karena tidak ada perkawinan sipil – terjadi salah kaprah dari pemerintah. 

Keluarga-keluarga yang mempunyai dimensi syukur di dalam dirinya:

1. Bangga pada keluarganya, akan menerima keluarganya apa adanya.

2. Bisa saling menghormati/menghargai keluarga yang lain dengan keunikan masing-masing; peduli pada keluarga yang mengalami kesulitan.

Marilah kita sebagai umat yang dipanggil untuk mewartakan rahmat/karunia dari janji perkawinan, menyapa/menyadarkan keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya bahwa janji perkawinan adalah janji yang suci dan kudus.

(Sumber: Warta KPI TL No. 49/V/2008; Renungan KPI TL Tgl 24 April 2008, Romo Gregorius Kaha, SVD)