Senin, 05 September 2016

Belajar menjadi sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga

Ada sebutir telur burung rajawali dierami seekor induk ayam. Ketika sudah menetas, anak rajawali itu hidup bersama anak-anak ayam yang lain. Anak rajawali itu tidak tidak pernah berlatih terbang, karena dia berpikir dirinya ayam.


Sedangkan anak-anak rajawali yang ditetaskan oleh induknya; justru pada saat badai ditinggalkan induknya, agar kelak mereka mempunyai kekuatan, menjadi rajawali-rajawali muda yang gagah berani dan militan dalam menghadapi badai sebesar apa pun.


Penderitaan/pergumulan hidup yang kita alami, seharusnya membuat manusia roh kita bertumbuh dan berkembang, menunjukkan kualitasnya. Kalau Bapa mengijinkan penderitaan apa pun di dalam kehidupan kita, itu adalah bukti betapa besar sayangnya Bapa di dalam kehidupan kita. Agar kelak kita mempunyai kekuatan dalam menghadapi badai sebesar apa pun. 

Tapi seringkali orang tidak mengerti, bahwa Bapa sedang menguji sebesar apa iman yang kita miliki, sehingga mereka semakin jauh dari Allah. 

Contoh: Allah menuntun bangsa Israel berputar melalui jalan di padang gurun menuju ke Laut Teberau, meskipun ada jalan yang dekat. Karena Allah tahu, bahwa suatu saat mereka akan menghadapi jalan buntu – menoleh ke belakang, orang Mesir mengejar dan menyusul mereka; melihat ke depan Laut Teberau, yang mustahil diseberangi. Ketika mereka berseru-seru pada-Nya, Allah menyatakan kuasanya – angkatlah tongkatmu (Musa) dan ulurkanlah tanganmu ke atas laut dan belahlah airnya, sehingga orang Israel akan berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering (Kel 13:17-18; 14:15-31).

Mungkin saat ini kita juga mengalami keadaan yang sama (pergumulan begitu besar, seolah-olah berjalan di padang gurun/dihadapkan pada tembok yang begitu besar, mengalami jalan buntu). Tapi ingatlah Allah mempunyai rancangan yang begitu sempurna buat kita. Dia mendidik kita, karena kita diakuiNya sebagai anak (Ibr 12:5-8; Rm 8:14). 

Ketika Allah menyatakan kuasa-Nya, pasti kita akan sampai pada tanah kebahagian yang Allah janjikan. Maka mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah. Oleh pembaharuan budi kita, sehingga kita dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm 12:1-2 - ibadah yang sejati).

Orang Kristen yang dewasa rohaninya mampu memanifestasikan 9 buah Roh di dalam hidupnya, dia mampu menjalankan firman Allah dan mengasihi Allah secara benar sehingga mampu hidup dalam kekudusan, karena hidupnya dikontrol oleh Roh Kudus (Yoh 14:21; Ef 5:18) – menjadi kudus dengan usaha sendiri tidak bisa, harus mendapatkan rahmat Allah.

Seberapa cepat roh kita bertumbuh, tergantung pada berapa lama kita mempelajari prinsip-prinsip hikmat pengetahuan akan Allah yang terdapat dalam firmanNya, dengan melakukannya di dalam kehidupan kita.

Maka Gereja Katolik tidak pernah memberikan gelar kudus pada seseorang, waktu orang itu masih hidup. Karena sekudus-kudusnya manusia, ketika dia masih bernafas, suatu saat dia bisa jatuh ke jurang yang paling dalam dosa yang paling besar dalam kehidupannya.

Meskipun sekarang ini jaman instant, tidak ada jalan pintas kearah kedewasaan secara jasmani maupun secara rohani. Semuanya itu tergantung dari dari jenis makanan yang kita makan. 

Tubuh - makanannya terbatas; lewat mulut.

Jiwa – selama kita sadar, jiwa yang paling sering mendapat makanan, melalui mata dan telinga (pikiran, perasaan, keinginan). Sehingga kita menjadi orang jiwai, sangat egois, sehingga sulit melakukan penyangkalan diri.

Roh – makanannya hanya firman Tuhan. Pertumbuhan rohani merupakan akibat dari bertumbuh dalam rahmat Allah dan pengetahuan akan Tuhan melalui mempelajari sabdaNya. Tuhan memberi rahmat kepada kita dan kita harus menanggapi rahmat yang Tuhan mau berikan. Semua itu bisa kita lakukan, kalau relasi yang kita bangun dengan Allah adalah relasi kasih bukan relasi kebutuhan. Untuk mengasihi Allah membutuhkan waktu, cara berpikir harus diubah. Kalau tidak rohaninya akan kurang gizi dan lama-kelamaan akan mati.

Untuk menyerupai Kristus, kita perlu:
1. Rahmat dari Allah.
2. Harus mampu menanggapi rahmat itu dengan baik – harus ada kerja sama dengan rahmat.
3. Setiap kali dengar sabda Allah, kita harus belajar untuk menelaahnya (dikunyah-kunyah). 

(Sumber: Warta KPI TL No. 56/XII/2008 » Renungan KPI TL 27 November 2008 , Dra Yovita Baskoro, MM).