05.04 -
*Kasih*
Jika kasih itu tidak cemburu, mengapa Allah cemburu?
Ada orang bertanya, jika Allah adalah kasih dan kasih itu tidak cemburu (1 Kor 13:4), mengapa dikatakan bahwa Allah itu cemburu (Kel 20:5; Ul 4:24)?
Istilah ‘cemburu’ yang kita pahami sekarang memang cenderung mengarah kepada arti negatif. Artinya sering dihubungkan dengan rasa iri, atau curiga terhadap pihak lain.
Nampaknya inilah yang terjadi dalam jemaat sebagaimana ditulis oleh Rasul Paulus di dalam suratnya di Korintus (2 Kor 12:20) dan Roma (Rm 13:13). Rasul Paulus mengkhawatirkan adanya “perselisihan dan iri hati dalam jemaat.
Namun dalam Kitab Suci, kata yang sama, dapat digunakan untuk menggambarkan arti yang baik. Kata ‘cemburu’ dalam bahasa Ibrani adalah qi’nah, atau dalam bahasa Yunani zelos, mempunyai akar kata ‘hangat/panas’.
Maka tergantung konteksnya, kata ‘cemburu’ ini dapat digunakan untuk menggambarkan baik suatu perasaan negatif ataupun positif. Rasul Paulus menggunakan kata yang sama ini, zeloo, ‘earnestly desire’, yang diterjemahkan LAI dengan ‘berusahalah untuk memperoleh’, yaitu untuk memperoleh karunia-karunia rohani (1 Kor 12:31; 14:1,39). Atau yang lebih eksplisit adalah dalam suratnya yang kedua kepada jemaat Korintus, Rasul Paulus berkata:
“Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus. Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya. Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima.” (2 Kor 11:2-4)
Pada ayat-ayat tersebut, ‘cemburu’ mempunyai arti positif, yaitu: mengasihi sedemikian, sehingga menjaga agar jangan sampai yang dikasihi tersesat dan tidak setia.
Dalam arti yang positif inilah, Allah dikatakan sebagai Allah yang cemburu. Allah tidak cemburu dalam arti iri hati terhadap bangsa Israel, tetapi Ia begitu mengasihi bangsa Israel dengan kasih yang kuat bagaikan api yang panas, yang tidak menghendaki umat-Nya mendua hati.
Demikianlah kita membaca dalam Kitab Ulangan, “Sebab Tuhan, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu” (Ul 4:24);
sebagai kesimpulan dari nasihat Nabi Musa agar bangsa Israel tidak melupakan perjanjian dengan Allah, dengan menjadi tidak setia (Ul 4:21-23).
Di sini Kitab Suci menggambarkan perkawinan rohani antara Allah dengan umat-Nya bagaikan kasih antara suami dan istri.
Allah menghendaki agar bangsa pilihan-Nya hanya menyembah-Nya sebagai Allah yang satu-satunya.
Sayangnya, bangsa Israel berkali-kali tidak setia kepada Allah, mereka berpaling kepada para dewa/berhala, sehingga dalam Kitab Suci sering dikatakan bahwa bangsa Israel dan Yehuda ‘bersundal’ (Yer 3:6-10).
Sebaliknya, Allah adalah Allah yang tetap setia. Allah tetap menunjukkan bahwa kasih-Nya kepada umat-Nya itu adalah kasih yang begitu total dan kuat/intense, yang menghendaki balasan yang serupa. Ia menjaga umat-Nya dengan kasih yang ‘cemburu’ dalam arti positif, yang tak ingin bertoleransi dengan kehadiran allah-allah lain di tengah umat-Nya (Kel 20:3-6, Yos 24:24-16,19-20, dst).
Arti ‘cemburu’ ilahi yang sedemikian berbeda dengan ‘cemburu’ yang disebutkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 13:4. Namun karena akar katanya sama, arti positif dan negatif dari kata tersebut, disampaikan dalam kata yang sama.
(Sumber: Jika Kasih itu tidak cemburu, mengapa Allah cemburu?, Tanya Jawab katolisitas.org)