Senin, 02 November 2015

21.21 -

Apakah Orang Katolik Harus Percaya Penampakan?




Pengalaman pribadi dengan Tuhan setiap orang alami, misalnya: dalam doa/persoalan - mengalami ketenangan/sukacita; ada yang mengalami kasih Allah yang luar biasa besarnya; ada juga yang mengalami kekecewaan karena pengalaman pahit (merasa tidak puas/berontak pada pengalaman yang tidak di-inginkannya). 

Sebenarnya dibalik pengalaman pahit itu, ada suatu pengalaman yang indah.



Contoh: Bunda Maria mengunjungi Elizabet saudaranya - karena mempunyai pengalaman iman yang sama. Jadi meskipun Maria mengalami penderitaan yang tidak dia mengerti tetapi tetap berpegang pada keyakinannya sehingga berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38-45).

Wahyu yang telah Tuhan berikan kepada semua orang sepanjang abad ini dipelihara dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci - keduanya berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama (DV No. 9). 

Kitab Suci adalah Sabda Tuhan yang dicatat dalam tulisan oleh penulis manusia dengan inspirasi dari Roh Kudus; tak akan ada kitab atau ayat yang akan ditambahkan ataupun dikurangkan dalam Kitab Suci.

Tradisi Suci adalah warisan Sabda Allah, yang dipercayakan Yesus kepada para rasul dan penerus mereka, dengan dibimbing dan diterangi oleh Roh Kudus (Roh Kebenaran – yang memelihara, menjelaskan dan mewartakannya dengan setia).

Masih banyak hal-hal lain yang diperbuat Yesus, tetapi jika semuanya itu harus dituliskan satu persatu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu (Yoh 21:25).

Contoh: Semalam-malaman Yesus berdoa kepada Allah (Luk 6:12) – di Kitab Suci tidak dijelaskan cara Yesus berdoa kepada Bapa (Dia dalam persatuan yang utuh dengan Bapa sehingga Dia menerima kekuatan itu).

Pengertian Wahyu Ilahi berdasarkan Konsili Vatikan II - DV No. 4 

Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan perantaraan nabi, akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita dalam Putera” (Ibr 1:1-2). 

Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sabda kekal, yang menyinari semua orang, supaya tinggal di tengah umat manusia dan menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (Yoh 1:1-18).

Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai ‘manusia kepada manusia’, menyampaikan sabda Allah (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (Yoh 5:36; 17:4). 

Oleh karena itu Dia – barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (Yoh 14:9) – dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mujizat-mujizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya dengan kemuliaan dari maut, akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk membangkitkan kita bagi hidup kekal.

Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (1 Tim 6:14; Tit 2:13).

Dalam definisi-definisi di atas, ada suatu poin penting yang harus digaris bawahi, “Walaupun wahyu itu sudah selesai, namun isinya sama sekali belum digali seluruhnya; masih merupakan tugas kepercayaan umat Kristen, supaya dalam peredaran zaman lama-kelamaan dapat mengerti seluruh artinya (KGK No. 66; Bdk. No. 74-83).

Di sinilah terletak peran Magisterium sebagai pelindung, penafsir dan guru yang otentik dari wahyu ilahi, dengan dibimbing dan dihindarkan dari salah oleh Roh Kudus

Segenap umat beriman Katolik wajib menerima kebenaran-kebenaran yang dinyatakan ini dengan iman ilahi. Menyangkalnya berarti sesat, misalnya: menyangkal misteri inkarnasi Tuhan kita, kehadiran nyata Tuhan kita dalam Ekaristi Kudus, ataupun adanya neraka.

Beberapa hal penting patut diperhatikan menyangkut wahyu-wahyu pribadi:


1. Wahyu-wahyu pribadi tidak menambah ataupun melengkapi warisan wahyu ilahi dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci - tidak pernah boleh disejajarkan dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci. Gereja senantiasa memperingarkan umat beriman terhadap antusiasme rohani yang meluap atas wahyu pribadi yang demikian hingga melalaikan Kitab Suci dan Tradisi Suci.

2. Magisterium harus dengan cermat dan seksama memeriksa semua wahyu-wahyu pribadi. Karena wahyu ini dianugerahkan kepada pribadi-pribadi tertentu, maka ada kemungkinan terjadi kesalahan manusiawi, ilusi dan distorsi (= penyimpangan dalam melapor dan mengingat). Sejujurnya, perlu dipertimbangkan juga kemungkinan tindakan setan, sebab dapat mempergunakan apa-apa yang tampaknya baik untuk menarik orang dari Tuhan.

3. Pengakuan yang diberikan Gereja terhadap suatu wahyu pribadi berarti bahwa wahyu pribadi tersebut tidak bertentangan dengan warisan wahyu dalam hal iman ataupun moral, bahwa isinya dapat disebarluaskan, dan bahwa umat beriman dapat mempercayainya dengan hati-hati dan bijaksana

Jika Gereja belum secara resmi mengakui suatu wahyu pribadi, berhati-hatilah. Jika Gereja telah memaklumkan bahwa suatu wahyu pribadi tidak benar dan bertentangan dengan iman, baiklah kita menjauhkan diri darinya (prinsip gamalier – kalau berasal dari Tuhan akan bertahan, kalau dari manusia akan berhenti).

4. Jika Gereja telah memberikan pengakuan resmi terhadap suatu wahyu pribadi, umat beriman tidak wajib mempercayai wahyu pribadi tersebut.

Seorang beriman Katolik dipanggil untuk meyakini iman sesuai warisan iman dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci.

Selama berabad-abad, pribadi-pribadi tertentu dianugerahi wahyu pribadi oleh Tuhan, yaitu pesan yang hanya disampaikan kepada mereka. 

Walaupun gereja mengakui wahyu-wahyu pribadi dan membenarkan isi pesan-pesan yang disampaikan, namun wahyu-wahyu pribadi ini tidak menambah ataupun melengkapi warisan iman. 

Berdasarkan keadaan Gereja pada saat wahyu pribadi disampaikan, pesan-pesan tersebut hanya mengilhami orang untuk hidup lebih taat dan setia, serta mendorong orang untuk semakin mendekatkan diri pada Kristus.

Contoh:

Penampakan Bunda Maria di Fatima. Gereja menerima pesan-pesan Fatima, karena pesan-pesan yang disampaikan mengandung suatu kebenaran dan panggilan Injil itu sendiri. 

Wahyu pribadi di Fatima tidak menambah, tidak bertentangan ataupun mengurangi warisan wahyu yang terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci (Paus Yohanes Paulus II).

Penampakan Tuhan kita kepada St. Margareta Maria Alacoque di mana Yesus menunjukkan hati-Nya yang Mahakudus dan menyampaikan dua belas janji kepadanya. 

Walaupun penampakan ini diselidiki dengan seksama dan dinilai dapat dipercaya, namun kita patut ingat bahwa devosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus berakar dari Kitab Suci sendiri, disajikan dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja, dan diajarkan banyak orang baik sebelum maupun sesudah St. Margareta Maria. 

Hal ini dengan terang dan jelas ditekankan dalam ensiklik Paus Pius XII ‘Haurietis aquas’ (1956) yang sangat indah mengenai devosi yang pantas kepada Hati Yesus yang Mahakudus.

Seorang beriman Katolik wajib memiliki penghormatan yang saleh kepada Hati Yesus yang Mahakudus, entah ia secara pribadi menerima, meragukan ataupun menolak wahyu-wahyu pribadi yang disampaikan Tuhan kepada St. Margareta Maria.

Sesudah Yesus bangkit menampakkan diri hanya kepada murid saja karena:

1. Meneguhkan kembali iman kepercayaan mereka (imannya goyah karena pengalaman kematian).

2. Menyiapkan dan mengutus mereka pergi menjadi saksi.

Apabila timbul suatu kegemparan akibat berita adanya penampakan-penampakan atau fenomena rohani lainnya, patut kita ingat hal ini,

“waspadalah, jangan terjebak!”

(Sumber: Warta No. 38/VI/2007; Renungan KPI TL Tgl 3 Mei 2007, Rm Gregorius Kaha, SVD).