Jumat, 31 Juli 2015

01.53 -

Teladan Kesetiaan Keluarga Kudus Nasaret

Hidup kita tidak lepas dari tuntutan kesetiaan. Sekalipun hidup sendirian, orang juga dituntut kesetiaan terhadap dirinya, baik untuk memenuhi kebutuhan/tujuan hidup, nazar, dan sebagainya. 

Apalagi kesetiaan yang dijanjikan di hadapan Tuhan dan sesama dalam janji setia perkawinan. Kesetiaan hidup berkeluarga bukan hanya soal suami-istri tidak bercerai/pisah ranjang/anak-anak yang tidak melawan orang tuanya. 

Misalnya: dewasa ini senjadi suatu “trend” kalau suami mempunyai WIL/ istri mempunyai PIL. Bahlan ada orang berpandangan bahwa “selingkuh” itu merupakan “selingan indah bagi keluarga utuh”. Inilah suatu penjungkirbalikan nilai-nilai kesetiaan perkawinan

Perselingkuhan terjadi karena pasangannya tidak ada disisinya, tetapi ketika berhadapan dengan pasangannya dia bersikap baik supaya tidak diketahui kejahatannya.

Pada awalnya hidup perkawinan sangat indah, saling memperhatikan dan melayani. Namun setelah anak mereka lahir mulailah istri sibuk dengan kegiatan rumah tangga, sehingga waktu untuk memperhatikan kebutuhan suaminya semakin berkurang

Suami pun mulai mencari kesibukan sendiri dengan pekerjaannya sehingga kurang memperhatikan istrinya. Bahkan sebagai ayah, dia juga kurang setia mendidik anak-anaknya. Akibatnya mereka sulit diatur dan nakal. 

Akhirnya sang suami/istri bertemu dengan orang lain yang menaruh perhatian padanya, maka terjadilah perselingkuhan. Hal itu sebenarnya tidak akan terjadi kalau mereka saling setia dalam perkara kehidupan sehari-hari.

Kita dapat bercermin pada teladan kesetiaan Keluarga Kudus Nasaret.

Mereka hidup dalam ketaatan kepada Allah. Misalnya tiap-tiap tahun mereka pergi ke Bait Allah di Yerusalem untuk merayakan Paskah. 

Kemudian ketika Yesus berusia dua belas tahun, mereka bertiga pergi bersama-sama ke Bait Allah. Kesetiaan Yusuf dan Maria sebagai orang tua tercermin juga ketika Yesus hilang dalam perjalanan pulang ke Nasaret setelah merayakan Paskah. 

Tiga hari penuh mereka mencari puteranya sampai menemukan kembali di kota suci tersebut. Ketika mereka menemukan-Nya, mereka tidak mendakwa/memarahi tetapi mencoba menerima dan merenungkannya di dalam hati walau tidak mengerti dengan alasan Yesus (Luk 2:42-51). 

Mereka dengan kehendak yang bebas mau menjawab “ya” kepada kehendak Allah. Walaupun di dalam hidup berkeluarga selalu ada duka dan sengsara namun ikatan yang tak kunjung putus terdapat di mana mereka saling mengasihi yang bersumber pada Yesus Kristus.

Bagaimana supaya setia

1. Kesetiaan saudara kepada Allah akan menentukan kualitas kesetiaan di dalam keluarga. Kalau kita menghadapi tantangan/godaan tanpa bantuan rahmat Allah, saudara akan mudah jatuh dalam ketidaksetiaan. Misalnya: melihat suami serong maka istri lari ke dukun, persoalan tidak selesai tetapi justru semakin parah.

2. Mohonlah kepada Allah agar Dia mengaruniakan rahmat kesetiaan, agar Roh Kudus membimbing dan menguatkan saudara untuk setiia. 

3. Ciptakan kebiasaan berdoa bersama dalam keluarga.

4. Bertekunlah merenungkan sabda Tuhan dan menghayati sakramen-sakramen dalam Gereja terutama Ekaristi dan perkawinan.

5. Berkumpullah dalam komunitas beriman yang mendukung saudara untuk tetap setia dalam hidup berkeluarga.

6. Usahakan adanya komunikasi yang terbuka, baik antara suami-istri maupun orang tua dengan anak. Menciptakan suasana harmonis dalam perkara-perkara kecil sehari-hari.

7. Bersedia dengan tulus mengampuni bila ada konflik/perselisihan/dilukai.

8. Berusahalah untuk memperbaiki apa yang salah dan berusaha untuk memahami serta menerima kelemahan.

Keberhasilan memelihara kesetiaan dalam hidup rumah tangga akan dirasakan bukan hanya milik anggota keluarga itu sendiri, tetapi akan menjadi kesaksian bagi keluarga-keluarga yang lain

(Warta KPI TL No. 12/IV/2005; Sumber: Teladan Kesetiaan Keluarga Kudus Nasaret, HDR Maret-April 2005).