Jumat, 31 Juli 2015

Sakramen Perkawinan

Perkawinan tidak terjadi secara kebetulan, atau karena dorongan alamiah yang buta, tetapi datang dari kehendak Allah yang bijaksana untuk menjadikan manusia alat meluaskan rencana kasih-Nya.

Menurut iman Katolik hidup perkawinan merupakan bentuk kehidupan yang sudah tertanam dalam hati manusia sejak diciptakan Allah, bukan sekedar tuntutan kemanusiaan, melainkan juga panggilan ilahi.

Tanpa bantuan Ilahi, pria dan wanita tidak dapat mewujudkan kesatuan hidup mereka yang telah diciptakan Tuhan “sejak semula”. Karena itu apa yang sudah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mrk 10:9).

Hendaknya disadari bahwa perkawinan/keluarga adalah sekolah cinta yang membantu kita bagaimana hidup bagi orang lain (pusat latihan penyangkalan diri dan perguruan yang mengajar kita memberikan diri secara cuma-cuma; pusat pendidikan kekudusan). 

Di sinilah kita wujudkan perintah Kristus untuk saling mencintai (Yoh 13:34). Cinta Kristus kepada kita adalah model cinta kasih suami istri yang harus dihayati setiap hari.

Sakramen perkawinan membawa rahmat bagi mereka yang menjalaninya yaitu:

1. Lewat cinta dan kesetiaan mereka, kedua mempelai menghadirkan cinta dan kesetiaan Allah dalam Yesus Kristus.

2. Mereka ambil bagian dalam kehidupan Ilahi. Suami-istri saling membantu untuk mencapai kesucian hidup perkawinan dan dalam membesarkan anak-anak mereka. Apa yang dilakukan suami-istri bagi pembangunan keluarga diberkati oleh Kristus sendiri.

3. Perkawinan kristiani mengingatkan kita akan perkawinan sorgawi (eskatologis) yang merupakan sukacita dan pemenuhan segala sesuatu dalam kasih Tuhan (Mat 22:1-14; 25:1-13). 

Merayakan upacara perkawinan secara agung tidak hanya memenuhi tuntutan manusiawi, melainkan juga memberikan rasa kristiani yang tepat untuk mengungkapkan harapan akan sukacita perkawinan sorgawi.

Secara kodrati cinta suami-istri sudah terarah kepada kesatuan pribadi yang saling melengkapi (Mrk 10:8; Kej 2:24), dan dikembangkan lewat kesanggupan pribadi masing-masing untuk saling membagi seluruh kehidupan mereka. Kesatuan manusiawi ini diteguhkan, dimurnikan dan dilengkapi oleh kesatuan dalam Kristus yang mereka terima dalam sakramen perkawinan.

Suami istri yang dengan tekun berusaha mewujudkan kesetiaan dan kesungguhan hati dalam menghayati hidup perkawinan memberikan kesaksian yang hidup akan kasih setia Allah sendiri.

Keluarga-keluarga seperti inilah yang selalu diharapkan muncul dari anggota Gereja, sebab dari kesaksian mereka itulah akan muncul sebuah Gereja yang menjadi terang bagi dunia – dari dalamnya mengalir terang Allah sendiri.

Kesatuan cinta dalam hidup perkawinan ini merupakan misteri yang tidak dapat dijelaskan secara matematis. Allah mengetahui masa depan dan jalan terbaik bagi kita dengan sejumlah keturunan ilahi seperti yang diinginkan-Nya (yang membuka dan menutup rahim), kalau Ia memberi kehidupan hanya sebagai karunia. Di atas segalanya, yang diinginkan Allah dari perkawinan yang dipenuhi iman adalah lahirnya “keturunan Ilahi” (Mal 2:15).

Allah, yang menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil manusia untuk mencinta. Oleh karena itu pria wanita diberkati oleh Tuhan agar berbuah dan menjadikan mereka mampu menguasai dunia (Beranak-cuculah dan bertambah banyak ...– Kej 1:28).

Anak merupakan perwujudan nyata dan pemenuhan cinta suami istri – ambil bagian dalam kasih Allah yang mencipta dan memelihara; menjadi partner dan penterjemah dari kasih Allah.

Suami istri harus selalu bersedia menerima kehidupan baru. Hal ini juga sangat penting dalam hubungannya dengan pilihan atas cara-cara yang tepat mengatur kelahiran anak.

Untuk memilih metode KB penting diperhatikan segi moral/agama serta efek samping yang mungkin ditimbulkan.

Metode KB yang paling dianjurkan gereja: pantang berkala (metode alamiah, pada masa diperkirakan subur pasangan tidak melakukan persetubuhan).

Syarat-syaratnya:

1. Intelektualitas dan kepekaan pasangan untuk bisa mengenal proses fisiologis kehamilan dan mengenal tanda-tanda kesuburan. 

2. Pengendalian diri

Hidup perkawinan jaman sekarang seringkali harus berhadapan dengan situasi sosial dan budaya yang menyebabkan sukarnya suami istri menghayati ajaran gereja, gereja pun menyadari kesulitan ini. Akan tetapi Gereja tidak bisa berbuat lain kecuali memihak kehidupan manusia, khususnya terhadap sikap yang merendahkan martabat kehidupan ini. 

Oleh dasar inilah suami istri harus mengambil keputusan yang sungguh-sungguh (mempertimbangkan kesejahteraan seluruh keluarga, masyarakat dan Gereja) dibimbing oleh hati nurani dengan mendengarkan suara Ilahi dan interpetasinya oleh ajaran Gereja.

Namun hendaknya disadari bahwa suami istri yang tidak dikaruniai anak tidak berarti kehilangan makna perkawinannya. Mereka tetap bisa menghayati hidup secara sungguh-sungguh manusiawi dan kristiani dengan menunjukkan buah amal, keramahtamahan dan pengorbanan.

Jika orang masuk ke jenjang perkawinan dengan maksud “tidak ingin punya anak”, ia menyangkal salah satu unsur dasar perkawinan dan ada bahaya bahwa perkawinan hanya akan menjadi alat untuk mencari kenikmatan/kesenangan pribadi.

Cinta suami istri, yang dimeteraikan dengan kesatuan seksual, mempunyai ciri khas: yakni penyerahan diri seutuhnya satu sama lain, demi perkembangan dan kesempurnaan masing-masing. Berfungsi menjaga satu sama lain ditengah-tengah berbagai tekanan hidup (saling merasakan adanya dukungan lahiriah dan batiniah), menyembuhkan dan mengembangkan mereka berdua.

(Warta KPI TL No. 11/III/2005; Menghayati Sakramen Perkawinan, P.D. Widharsana Pr.).