01.28 -
*Keluarga*
Saat Engkau Hendak Menceraikanku, Gendonglah Aku
Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan flat kami yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk menggendongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kugendong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia. Ini kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari hari selanjutnya berlalu demikian sederhana seperti secangkir air bening. Kami mempunyai seorang anak, aku terjun ke dunia usaha dan berusaha menghasilkan uang banyak. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut.
Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah, ketika Dew hadir dalam hidupku. Hatiku terbenam dalam aliran cintanya. Di apartement yang kubelikan, Dev berkata: “Kamu adalah jenis pria yang menarik para gadis.”
Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan pada istriku. Aku tahu kalau aku telah mengkhianati istriku, tapi aku tak sanggup menghentikannya. Ide perceraian menjadi jelas dipikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin.
Ketika istriku menyiapkan makan malam, kupegang tangannya: “Ada sesuatu yang harus kukatakan, aku ingin bercerai.” Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi bertanya secara lembut: “Kenapa?” tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, sebab hatiku telah dibawa pergi Dew.
Dengan perasaan bersalah, aku menuliskan surat perceraian di mana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan menyobeknya jadi beberapa bagian.
Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidupku. Tapi aku tak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan.
Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, di mana hal tersebut tak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku.
Istriku menuliskan syarat-syarat perceraiannya: ia tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan untuk hidup bersama seperti biasa dengan alasan: anak kami akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami.
Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya: “Andy, apakah kamu ingat bagaimana aku memasuki rumah kita pada hari pernikahan kita?”
Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu menggendongku di lenganmu”, katanya, “Jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu harus menggendongku setiap pagi selama sebulan keluar dari kamar tidur ke pintu.”
Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.
Aku memberitahukan Dew soal syarat-syarat perceraian istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini”, ia mencemooh.
Ketika aku menggendongnya di hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Ia rebah di dadaku, kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi bajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini.
Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti suami istri dan aku masih menggendong kekasihku di lenganku. Bayangan Dew menjadi samar. Perasaan kedekatan terasa semakin erat.
Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya di lenganku, aku melangkah dengan berat. Ia berkata: “Sesungguhnya aku berharap kamu menggendongku sampai kita tua.” Aku memeluknya dengan kuat dan berkata: “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra.”
“Maaf Dew, aku tidak ingin bercerai, karena kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan kami tidak bisa merasakan nilai-nilai kehidupan, bukan disebabkan tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku menggendongnya, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua.”
Tiba-tiba Dew tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisnya meledak.
(Sumber: Warta KPI TL No. 12/IV/2005).